we are a happy family

Sabtu, 30 Maret 2013

"Love Hurts" Keith Richards & Norah Jones


Keith Richards

Keith Richards
Keith adalah anak semata wayang dari Bert Richards dan Doris Dupree Richards, Keith lahir di Dartford, Kent. Ayahnya seorang buruh pabrik, terluka saat Perang Dunia II. Tempat tinggal mereka di Chastilian Road dihantam bom tentara Nazi pada 5 Juli 1944 waktu dia dan ibunya pergi membesuk Bert Richards di Rumah Sakit Normandy invasion. 
Richards masuk sekolah dasar yang sama dengan Mick Jagger, Wentworth Primary School. Keduanya sudah saling mengenal semasa sekolah dan tinggal bertetangga hingga tahun 1954. Ditahun yang sama keluarga Richards pindah rumah. dia pindah sekolah setahun kemudian di Dartford Technical School (pada waktu itu yang kemudian terpecah jadi 2 sekolah) yaitu Wilmington Grammar School for Boys dan Wilmington Enterprise College yang dijalaninya tahun 1955-1959.
Keith Richards juga bermain di film Pirates of the Caribbean: At World's End sebagai Teague Sparrow, ayah Kapten Jack Sparrow.

Norah Jones

Norah Jones

Lahir 30 Maret 1979 di New York City, nama aslinya Geetali Norah Jones Shankar musisi legendaris India, Ravi Shankar, dan Sue Jones di New York City. Arti namanya, Geetali, membawa arti "lagu" atau "merdu", tapi tidak ada yang bisa mungkin membayangkan bagaimana akhirnya ia kemudian akan mewujudkan itu.
Norah Jones dibesarkan oleh ibunya di pinggiran kota Dallas, dan di sanalah bakat musiknya mulai menampakkan diri. Dia tampil di paduan suara gereja, belajar bermain piano dan gitar, dan bahkan sebentar mencoba tangannya di saxophone alto. Dia menghadiri Seni Interlochen Camp, Booker T. Washington Sekolah Tinggi untuk Seni Pertunjukan dan Visual di Dallas, Texas, dan University of North Texas, di mana ia mengambil jurusan piano jazz, dan memenangkan Penghargaan Mahasiswa Musik Terbaik untuk Vokalis Jazz Terbaik (dua kali, pada tahun 1996 dan 1997) dan Komposisi Best Original (1996). Pada usia enam belas, ia resmi disingkat namanya Norah Jones, tidak lagi membawa, India "Geetali". 


"Love Hurts" originalnya oleh The Everly Brothers dan pada tahun 70an pernah di tenarkan oleh Nazareth dinyanyikan Keith berduet dengan Norah pada Live tribute to Gram Parsons, 




Selasa, 26 Maret 2013

Istilah Faktur Pajak Tidak Lengkap menggantikan Faktur Pajak Cacat


Dengan terbitnya Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 yang menggantikan PER-13/PJ/2010, yang berlaku per 1 April 2013, istilah Faktur Pajak Cacat dibuang jauh-jauh. Sebagai gantinya, istilah Faktur Pajak Cacat ini diganti dengan Faktur Pajak Tidak Lengkap. Secara umum, Faktur Pajak Cacat atau Tidak Lengkap ini mengandung konsekuensi sanksi denda bagi penerbitnya dan tidak dapat dikreditkan bagi penerimanya.

Nah, dalam kondisi yang bagaimana Faktur Pajak dikatakan tidak lengkap? Faktur Pajak Tidak Lengkap adalah Faktur Pajak yang tidak mencantumkan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN 1984 dan/atau mencantumkan keterangan tidak sebenarnya atau sesungguhnya dan/atau mengisi keterangan yang tidak sesuai dengan tata cara dan prosedur sebagaimana diatur dalam PER-24/PJ/2012.

Jadi, ada tiga penyebab Faktur Pajak menjadi tidak lengkap, yaitu tidak memenuhi persyaratan formal, tidak memenuhi material, dan tidak memenuhi ketentuan PER-24/PJ/2012. Persyaratan formal dan material Faktur Pajak diatur dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9) UU PPN 1984. Bagaimana dengan ketentuan PER-24/PJ/2012?

Terdapat beberapa ketentuan dalam PER-24/PJ/2012 yang menyatakan bahwa Faktur Pajak menjadi tidak lengkap.

Pertama, dinyatakan bahwa Faktur Pajak yang tidak diisi secara lengkap, jelas, benar, dan/atau tidak ditandatangani oleh PKP atau pejabat/pegawai yang ditunjuk oleh PKP untuk menandatanganinya sesuai dengan tata cara dan prosedur sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 merupakan Faktur Pajak Tidak Lengkap.

Ketentuan ini sebenarnya masih satu nafas dengan persyaratan formal dan material sebagaimana diatur dalam UU PPN 1984. Hanya saja, ditekankan bahwa agar tidak dinyatakan Faktur Pajak Tidak Lengkap, pengisian dan penandatanganan Faktur Pajak harus sesuai dengan tatacara dan prosedur yang diatur dalam PER-24/PJ/2012.

Kedua, ditegaskan bahwa PKP yang membuat Faktur Pajak dengan menggunakan Nomor Seri Faktur Pajak ganda atau Nomor Seri Faktur Pajak yang sama lebih dari 1 (satu) dalam tahun pajak yang sama, maka seluruh Faktur Pajak dengan Nomor Seri Faktur Pajak tersebut termasuk Faktur Pajak Tidak Lengkap.

Seharusnya memang satu nomor Faktur Pajak digunakan sekali saja. Tidak boleh nomor seri yang sudah terpakai digunakan kembali. Apabila ini dilakukan, seluruh Faktur Pajak yang menggunakan nomor seri yang sama dinyatakan sebagai Faktur Pajak Tidak Lengkap.

Ketiga, ditegaskan juga bahwa dalam hal PKP melakukan pengisian Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, maka Faktur Pajak yang diterbitkan merupakan Faktur Pajak Tidak Lengkap.

Misalnya, pemakaian kode transaksi harus sesuai dengan transaksinya, apakah penyerahan biasa, penyerahan kepada pemungut, atau penyerahan yang mendapat fasilitas dibebaskan atau tidak dipungut. Begitu pula, kode penggantian faktur pajak, apakah merupakan fakur pajak pengganti atau faktur pajak normal.

Terakhir, dalam hal PKP tidak atau terlambat menyampaikan pemberitahuan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat PKP dikukuhkan atau tempat pemusatan Pajak Pertambahan Nilai terutang dilakukan, maka Faktur Pajak yang diterbitkan oleh PKP sampai dengan diterimanya pemberitahuan merupakan Faktur Pajak Tidak Lengkap.

PKP memiliki kewajiban untuk menyampaikan pemberitahuan nama PKP atau pegawai/pejabat yang ditunjuk sebagai pendatangan Faktur Pajak. Batas waktunya adalah pada akhir bulan berikutnya setelah bulan nama PKP atau pegawai/pejabat tersebut menandatangani Faktur Pajak. Nah, apabila hal ini dilanggar, Faktur Pajak yang sudah ditandatangani menjadi Faktur Pajak tidak lengkap sampai dengan surat pemberitahuan penandatangan Faktur Pajak diterima oleh KPP.

sumber : http://dudiwahyudi.com/pajak/pajak-pertambahan-nilai/faktur-pajak-tidak-lengkap.html

Selasa, 19 Maret 2013

Apakah Hibah, Bantuan dan Sumbangan itu Penghasilan

Penerimaan yang dapat dikategorikan sebagai Bukan Penghasilan yang diterima dalam bentuk hibah, sumbangan dan bantuan, berikut ini adalah kutipan dari "Penghasilan" tersebut :


Pasal 4 ayat (3) huruf a UU PPh 1984 [amandemen 2008] :
Yang dikecualikan dari objek pajak adalah :
a. 1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; 

2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; 

sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;

Sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kemudian ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf a UU PPh 1984 ini dijabarkan di Peraturan Menteri Keuangan No. 245/PMK.03/2008. Berikut bunyi pasal 1 PMK tersebut :
Harta hibah, bantuan, atau sumbangan yang diterima oleh:
a. keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat;
b. badan keagamaan;
c. badan pendidikan;
d. badan sosial termasuk yayasan dan koperasi; atau
c. orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, 
dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan.

Inilah hibah, bantuan, dan sumbangan yang bukan objek PPh. Artinya jika ada hibah yang diluar batasan diatas maka hibah tersebut menjadi objek PPh. Tidak semua hibah bukan objek PPh. Tidak semua sumbangan bukan penghasilan. Supaya lebih jelas, berikut pengertian lebih lanjut yang diatur di Peraturan Menteri Keuangan No. 245/PMK.03/2008 ditambah dengan catatan saya  

[1.] Keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat adalah orang tua dan anak kandung. Jadi hibah kepada anak kandung, atau hibah kepada orang tua bukan objek PPh. Tetapi hibah yang diterima dari kakak, adik, anak angkat, mantu, mertua, orang lain merupakan objek PPh. Karena itu, jika kita menerima hibah dari mertua maka jangan dibilang dari mertua tapi hibah dari orang tua kepada anaknya [istri kita] . Ingat, satu keluarga adalah satu entitas tetapi garis keturunan tetap terpisah.

[2.] Badan keagamaan adalah badan keagamaan yang kegiatannya semata-mata mengurus tempat-tempat ibadah dan/atau menyelenggarakan kegiatan di bidang keagamaan, yang tidak mencari keuntungan. Menurut saya, suatu badan mencari keuntungan atau bukan bisa dilihat dari praktek atau operasional badan tersebut, bukan dari akta notaris atau tujuan pendirian. Apakah badan tersebut memperoleh penghasilan semata-mata untuk kegiatan keagamaan atau ada motif mencari keuntungan [bisnis].

[3.] Badan pendidikan adalah badan pendidikan yang kegiatannya semata-mata menyelenggarakan pendidikan yang tidak mencari keuntungan. Nah sekarang badan pendidikan tidak perlu takut lagi dikenakan PPh karena sudah jelas bahwa atas sumbangan ke badan pendidikan bukan objek PPh dengan syarat badan tersebut tidak mencari keuntungan. Ada yang berpendapat bahwa jika kampur terus-terusan membangun gedung berarti ada indikasi badan pendidikan tersebut mencari keuntungan. Saya pikir ini tidak tepat karena pembangunan gedung kuliah, gedung administrasi, fasilitas pendidikan [lab, perpus, ruang praktek], dan gaji pengajar keperluan "tak terpisahkan" dari proses pendidikan. Kecuali jika badan pendidikan tersebut memberikan keuntungan pribadi bagi pendiri atau pihak lain.

[4.] Badan sosial termasuk yayasan dan koperasi adalah badan sosial yang kegiatannya semata-mata menyelenggarakan:
[4.a.] pemeliharaan kesehatan;
[4.b.] pemeliharaan orang lanjut usia (panti jompo);
[4.c.] pemelihataan anak yatim-piatu, anak atau orang terlantar, dan anak atau orang cacat;
[4.d.] santunan dan/atau pertolongan kepada korban bencana alam, kecelakaan, dan sejenisnya;
[4.e.] pemberian beasiswa;
[4.f.] pelestarian lingkungan hidup; dan/atau
[4.g.] kegiatan sosial lainnya, 
yang tidak mencari keuntungan.

[5.] Orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan usaha kecil adalah orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan usaha kecil yang memiliki dan menjalankan menjalankan usaha produktif yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau 
b. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah). Perhatikan kata "yang" dan "atau" yang saya cetak tebal. Kata "yang" menunjukkan syarat kumulatif, sedangkan kata "atau" adalah syarat alternatif [opsi]. Artinya bisa dilihat dari kekayaan yang lima ratus juta rupiah atau memiliki omset dua milyar lima ratus juta rupiah. Mana yang memenuhi.

Kesemua hibah, bantuan, dan sumbangan tidak boleh diberikan dalam rangka pekerjaan, usaha, kepemilikan, atau penguasaan. Tetapi sampai sekarang saya belum menemukan aturan lebih lanjut tentang hal ini. Pendapat saya adalah pemberian tersebut tidak ada timbal balik. 

Sebagai contoh, jika PT ABC memberikan sumbangan kepada badan pendidikan berupa software komputer untuk dipakai keperluan proses pendidikan maka sumbangan tersebut bukan objek PPh bagi penerima dan dicatat sebesar nilai buku dalam daftar harta badan pendidikan tersebut. Tetapi jika pemberian tersebut dikaitkan atau ada persyaratan timbal balik, misalnya badan pendidikan tersebut diminta melakukan penelitian untuk keperluan PT ABC, maka pemberian tersebut berkaitan dengan usaha atau pekerjaan. 

Seyogyanya badan pendidikan tidak “menjual jasa” kecuali jasa pendidikan itu sendiri. Pasal 10 Peraturan Pemerintah No. 144 Tahun 2000 menyebutkan :
Jenis jasa di bidang pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf f meliputi :
a. Jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik dan pendidikan profesional; dan
b. Jasa penyelenggaraan pendidikan Iuar sekolah, seperti kursus-kursus.


Dengan demikian, karena kegiatan penelitian tidak termasuk jasa di bidang pendidikan, maka [sebagai contoh] jika badan pendidikan melakukan penelitian dan hasilnya dijual baik secara langsung maupun tidak maka atas hasil penjualan tersebut objek PPh. Berbeda dengan sumbangan pendidikan baik dari mahasiswa atau pihak lain yang dipergunakan untuk penyelenggaraan pendidikan maka [berapapun jumlahnya] bukan objek PPh.


Mungkin dalam prakteknya akan lebih mudah lagi dibedakan mana objek PPh atau bukan, mana kegiatan sosial mana kegiatan "bisnis" yang dibungkus kegiatan sosial. 
. Berikut adalah kutipan langsung sebagai dasar hukum :

Pasal 4 ayat (3) huruf a UU PPh 1984 [amandemen 2008] :
Yang dikecualikan dari objek pajak adalah :
a. 1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah;

2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;

Sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kemudian ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf a UU PPh 1984 ini dijabarkan di Peraturan Menteri Keuangan No. 245/PMK.03/2008. Berikut bunyi pasal 1 PMK tersebut :
Harta hibah, bantuan, atau sumbangan yang diterima oleh:
a. keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat;
b. badan keagamaan;
c. badan pendidikan;
d. badan sosial termasuk yayasan dan koperasi; atau
c. orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil,
dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan.

Inilah hibah, bantuan, dan sumbangan yang bukan objek PPh. Artinya jika ada hibah yang diluar batasan diatas maka hibah tersebut menjadi objek PPh. Tidak semua hibah bukan objek PPh. Tidak semua sumbangan bukan penghasilan. Supaya lebih jelas, berikut pengertian lebih lanjut yang diatur di Peraturan Menteri Keuangan No. 245/PMK.03/2008.

[1.] Keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat adalah orang tua dan anak kandung. Jadi hibah kepada anak kandung, atau hibah kepada orang tua bukan objek PPh. Tetapi hibah yang diterima dari kakak, adik, anak angkat, mantu, mertua, orang lain merupakan objek PPh. Karena itu, jika kita menerima hibah dari mertua maka jangan dibilang dari mertua tapi hibah dari orang tua kepada anaknya [istri kita] . Ingat, satu keluarga adalah satu entitas tetapi garis keturunan tetap terpisah.

[2.] Badan keagamaan adalah badan keagamaan yang kegiatannya semata-mata mengurus tempat-tempat ibadah dan/atau menyelenggarakan kegiatan di bidang keagamaan, yang tidak mencari keuntungan. Menurut saya, suatu badan mencari keuntungan atau bukan bisa dilihat dari praktek atau operasional badan tersebut, bukan dari akta notaris atau tujuan pendirian. Apakah badan tersebut memperoleh penghasilan semata-mata untuk kegiatan keagamaan atau ada motif mencari keuntungan [bisnis].

[3.] Badan pendidikan adalah badan pendidikan yang kegiatannya semata-mata menyelenggarakan pendidikan yang tidak mencari keuntungan. Nah sekarang badan pendidikan tidak perlu takut lagi dikenakan PPh karena sudah jelas bahwa atas sumbangan ke badan pendidikan bukan objek PPh dengan syarat badan tersebut tidak mencari keuntungan. Ada yang berpendapat bahwa jika kampur terus-terusan membangun gedung berarti ada indikasi badan pendidikan tersebut mencari keuntungan. Saya pikir ini tidak tepat karena pembangunan gedung kuliah, gedung administrasi, fasilitas pendidikan [lab, perpus, ruang praktek], dan gaji pengajar keperluan "tak terpisahkan" dari proses pendidikan. Kecuali jika badan pendidikan tersebut memberikan keuntungan pribadi bagi pendiri atau pihak lain.

[4.] Badan sosial termasuk yayasan dan koperasi adalah badan sosial yang kegiatannya    semata-mata menyelenggarakan:
[4.a.] pemeliharaan kesehatan;
[4.b.] pemeliharaan orang lanjut usia (panti jompo);
[4.c.] pemelihataan anak yatim-piatu, anak atau orang terlantar, dan anak atau orang cacat;
[4.d.] santunan dan/atau pertolongan kepada korban bencana alam, kecelakaan, dan sejenisnya;
[4.e.] pemberian beasiswa;
[4.f.] pelestarian lingkungan hidup; dan/atau
[4.g.] kegiatan sosial lainnya, 
yang tidak mencari keuntungan.

[5.] Orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan usaha kecil adalah orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan usaha kecil yang memiliki dan menjalankan menjalankan usaha produktif yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau 
b. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah). Perhatikan kata "yang" dan "atau" yang saya cetak tebal. Kata "yang" menunjukkan syarat kumulatif, sedangkan kata "atau" adalah syarat alternatif [opsi]. Artinya bisa dilihat dari kekayaan yang lima ratus juta rupiah atau memiliki omset dua milyar lima ratus juta rupiah. Mana yang memenuhi.

Kesemua hibah, bantuan, dan sumbangan tidak boleh diberikan dalam rangka pekerjaan, usaha, kepemilikan, atau penguasaan. Tetapi sampai sekarang saya belum menemukan aturan lebih lanjut tentang hal ini. Pendapat saya adalah pemberian tersebut tidak ada timbal balik. 

Sebagai contoh, jika PT ABC memberikan sumbangan kepada badan pendidikan berupa software komputer untuk dipakai keperluan proses pendidikan maka sumbangan tersebut bukan objek PPh bagi penerima dan dicatat sebesar nilai buku dalam daftar harta badan pendidikan tersebut. Tetapi jika pemberian tersebut dikaitkan atau ada persyaratan timbal balik, misalnya badan pendidikan tersebut diminta melakukan penelitian untuk keperluan PT ABC, maka pemberian tersebut berkaitan dengan usaha atau pekerjaan. 

Seyogyanya badan pendidikan tidak “menjual jasa” kecuali jasa pendidikan itu sendiri. Pasal 10 Peraturan Pemerintah No. 144 Tahun 2000 menyebutkan :
Jenis jasa di bidang pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf f meliputi :
a. Jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik dan pendidikan profesional; dan
b. Jasa penyelenggaraan pendidikan Iuar sekolah, seperti kursus-kursus.

Dengan demikian, karena kegiatan penelitian tidak termasuk jasa di bidang pendidikan, maka [sebagai contoh] jika badan pendidikan melakukan penelitian dan hasilnya dijual baik secara langsung maupun tidak maka atas hasil penjualan tersebut objek PPh. Berbeda dengan sumbangan pendidikan baik dari mahasiswa atau pihak lain yang dipergunakan untuk penyelenggaraan pendidikan maka [berapapun jumlahnya] bukan objek PPh.

Mungkin dalam prakteknya akan lebih mudah lagi dibedakan mana objek PPh atau bukan, mana kegiatan sosial mana kegiatan "bisnis" yang dibungkus kegiatan sosial. 

sumber : 
http://pajaktaxes.blogspot.com/2009/01/hibah-bantuan-dan-sumbangan.html
www.pajak.go.id/dmdocuments/PMK-245-2008.pdf

Sabtu, 16 Maret 2013

DPR Pertanyakan Penjualan Aset PT ISN

Senayan - Komisi VI DPR RI berencana mengundang Menteri BUMN Dahlan Iskan pekan depan. Komisi yang membidangi perdagangan, perindustrian, investasi, koperasi, usaha kecil dan menengah, dan badan usaha milik negara ini ingin meminta penjelasan Menteri soal penjualan aset-aset negara yang dinilai tidak sesuai Undang-undang.

"Kita akan panggil pekan depan," kata Wakil Ketua Komisi VI dari F-PDIP Arya Bima kepadaJurnalParlemen, Senin (11/3) kemarin.

Saat rapat dengar pendapat antara Komisi VI dengan PT Industri Sandang Nusantara (ISN) kemarin, terungkap ada aset-aset BUMN yang sudah dijual tanpa sepengetahun Komisi VI. Padahal aset BUNN jelas aset milik negara yang penjualannya harus mendapat persetujuan DPR. PT Industri Sandang Nusantara sendiri mengakui ada aset yang sudah disita untuk serikat karyawan atas perintah pengadilan. Pokok pangkalnya, PT Sandang melakukan PHK kepada lebih dari 1.000 karyawannya. Namun sebagian ada yang melakukan gugatan.

Sebelumnya, sejumlah serikat pekerja dan pekerja BUMN yang di-PHK mengadu ke Komisi VI atas perlakuan para direksi yang semena-mena mem-PHK mereka. Dari paparan para karyawan terungkap adanya praktik menjual aset-aset BUMN, dan pengangkatan jajaran direksi yang tidak transparan. Dari sinilah Komisi VI memanggil sejumlah perusahaan BUMN untuk mengetahui kebenaran kabar tersebut. 

Komisi VI DPR-RI pernah meminta Menteri BUMN menyempurnakan Kepmen BUMN Nomor Kep-236/MBU/2011 tentang Pendelegasian Wewenang Menteri dalam rangka menciptakan pengelolaan usaha sesuai dengan prinsip-prinsip korporasi kepada Direksi, Komisaris dan Eselon I Kementerian BUMN, karena dinilai melanggar UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara dan UU BUMN. Aturan tersebut yang selama ini dijadikan dasar perusahaan BUMN bisa sewenang-wenang menjual aset mereka.

Pada rapat Kamis (16/2) malam yang dipimpin Ketua Komisi VI Airlangga Hartarto tersebut juga diminta agar proses penyelesaian revisi dipercepat sehingga tidak menganggu proses pengambilan keputusan di BUMN. DPR menilai revisi tersebut mutlak dilakukan antara lain terkait dengan pasal yang memuat tentang penjualan aset, pendirian anak perusahaan. "Kedua poin ini jika tidak diatur dengan baik maka berpotensi merugikan keuangan negara," ujar anggota Komisi VI Nasril Bahar saat itu.

Sementara, dalam RDP Komisi VI dengan Deputi Kementerian BUMN, PT PLN (Persero), dan ISN kemarin, Azam Azman Natawijana dari Fraksi Partai Demokrat menilai peraturan itu tak bisa menjadi dasar hukum penjualan aset negara, apalagi tanpa ada persetujuan DPR, Presiden, dan Menteri Keuangan. 

Dengan demikian, penjualan aset ISN melanggar ketentuan pasal 24 ayat (5) UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara dan Pasal 45 dan Pasal 46 UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang mengatur bahwa penjualan aset BUMN harus melalui persetujuan DPR, Presiden, dan atau Menteri Keuangan, sesuai tingkat kewenangan masing-masing. 

Penjualan aset BUMN tanpa melalui persetujuan DPR juga melanggar Pasal 71 huruf r UU No. 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Pasal ini menetapkan bahwa salah satu tugas dan wewenang DPR adalah memberikan persetujuan terhadap pemindahtanganan aset negara berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan terhadap perjanjian yang berakibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara.

Hal senada disampaikan anggota Komisi VI Fraksi Partai Golkar Chairuman Harahap. Menurut dia, penjualan aset negara di bawah Rp 10 miliar harus atas persetujuan Menteri Keuangan. "Penjualan aset negara di bawah Rp 100 miliar harus dengan persetujuan Presiden, dan penjualan aset negara di atas Rp 100 miliar harus persetujuan DPR. Ini jelas, tidak bisa sembarangan seperti yang dilakukan PT ISN," ujarnya.

Apalagi ISN telah menjual beberapa aset miliknya termasuk kendaraan dinas di Patal Karawang, Banjaran, Kantor Pusat, tanah kompleks PT ISN Kemanggisan Jakarta Barat, tanah dan bangunan. "Nilainya lebih dari Rp 100 miliar, dan dalam paparan hanya atas persetujuan Kementerian BUMN," tandasnya.

Bahkan, Ferari Romawi dari FPD meminta agar data penjualan aset BUMN segera diserahkan ke Komisi VI. "Yang belum dijual harus distop dulu," kata Ferari.

Sumber : http://www.jurnalparlemen.com/view/1861/komisi-vi-panggil-dahlan-iskan-pekan-depan.html

Rabu, 13 Maret 2013

Senin, 11 Maret 2013

Tabel PTKP 2013

Mulai 1 Januari 2013 pemerintah telah menaikkan batas penghasilan tidak kena pajak yang semula Rp 15.840.000,00  dinaikkan  menjadi Rp 24.300.000,00 per tahunnya atau per bulan  Rp 2.025.000,00 untuk setiap wajib pajak lajang,
Peraturan Menteri Keuangan Nomor: PMK-162/PMK.011/2012 tanggal 22 Oktober 2012 yang berlaku efektif mulai 1 Januari 2013.

Berikut ini adalah tabel PTKP :


 
 
Copyright © 2013. flemino - All Rights Reserved
Design by Luhur Muhammad Fatah | Powered By Blogger.com